Speak Up Banua

Penulis Bela Islam dari Akademi Menulis Kreatif Regional Kalimantan Selatan

"Buatlah karya yang menggoncang dan bersabarlah dengan proses panjangnya."

(Founder AMK - Apu Indragiry)

BUKAN SALAHKU



Oleh : Eva Liana

Telah kuhabiskan waktu untuk mencintaimu. Jalanku memang panjang dan berliku. Tapi aku tak peduli, telingaku tuli dan mulutku bisu. Entah mengapa kuyakin kau jodohku. Betapa tidak? Takdir Tuhan selalu mempertemukan kita. TK yang sama. SD yang sama. SMP sekelas. SMA malah sebangku. Apakah salah jika aku merasa kaulah jodohku, yang sengaja didekatkan Allah padaku.

Mata telagamu yang selalu meneduhkan. Membuatku terbius rasa lupa segala. Mungkin kau tidak tahu, senyummu membuatku kenyang dan tak butuh makan seharian. Selain karena uang sakuku yang tak cukup untuk membeli sebungkus nasi. Sementara di rumah, ibuku kadang ingat masak dan terkadang tidak. Ibu akan pergi seharian setiap kali habis bertengkar dengan ayahku, tukang sabung ayam yang tampan tapi pemabuk dan penjudi. Kalau sudah begitu, alamat tak ada makan siang dan makan malam di atas meja makan.
Kalau dilihat dari bangunan rumah, aku bukan anak orang miskin. Tapi aku seperti anak yatim piatu yang tak terurus. Ibuku bekerja sebagai pns dan sangat pelit untuk memenuhi keperluanku atas nama penghematan. Tetapi make up dan kuota internet, adalah anggaran wajibnya. Sedangkan ayah, kata nenekku, lambang kesia-siaan dan tak punya masa depan. Menurut orang kampung, ibu sudah keblinger. Hanya karena ayah perjaka paling tampan sekecamatan, ibu tak peduli segala kekurangannya. Dan aku yang jadi korbannya. Kehilangan hak mendapatkan ayah yang baik dan bertanggungjawab.

Sering kumeratap, mengapa ibu tak mencarikan ayah yang baik untukku. Untung ada dirimu yang selalu menampung airmataku. Kita berbagi suka duka susah senang bersama. Kata orang-orang, kita adalah soulmate. Menurutku, lebih dari itu. Kau jiwaku, nafasku, denyut nadiku. Kau jodohku.

Pada saat perpisahan SMA, airmataku tak terbendung lagi karena kau memutuskan melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran yang letaknya jauuuh sekali di seberang pulau kita tercinta. Aku tak peduli cibiran teman-teman. Sudah biasa. Sejak SD aku memang cengeng. Dan terus tumbuh jadi sosok cengeng. Hanya dirimu yang mau bersahabat denganku. Bersimpati padaku. Siap menampung keluhkesahku. Hanya dirimu.

Jika kau pergi, bagaimana nasibku?

"Din, kita harus punya cita-cita. Sekarang aku akan mengejar cita-citaku," ungkapmu pelan sambil menunduk. Aku tahu kau tak tahan melihat airmataku. Ah, kau memang tak pernah tegaan melihat orang menangis di depanmu. Kau pantas jadi dokter. Kau pasti kelak akan menjadi dokter hebat.

Aku tersenyum di sela derai airmata. Baiklah. Kulepas dirimu dengan segunung harapan. Kupegang janjimu untuk kembali. Kembali ke kampung kita yang permai ini. Jadilah dokter hebat, kekasihku.

Aku tak mampu menolak kenyataan yang menimpa. Kau pergi tanpa kuasa kucegah. Sejak saat itu, pilu hati kutelan sendiri tanpa tempat berbagi. Kutak tahu bagaimana cara menghubungimu. Dan kaupun tak pernah mengabariku mengenai nasibmu dirantau orang.

Tahukah kamu? Semenjak kau pergi, aku benar-benar hilang arah dan terlunta-lunta. Tak ada yang suka bersahabat denganku. Semua orang menganggapku makhluk asing yang tak patut dipedulikan.

Setahun setelah kita berpisah, ayahku masuk penjara karena terlibat pembacokan bos kelapa sawit. Lalu mati, tanpa diketahui penyebabnya. Menurut desas-desus tetangga, ayah tewas kena santet parangmaya. Salah sendiri, kata Julak Ibuh berapi-api di warung pasar. Kenapa juga berani-beraninya membacok menantu damang yang ditakuti dari Gunung Kentawan.

Ibuku sudah kawin dengan lelaki lain. Sekarang dia lebih sibuk mengurus sepasang adik kembarku. Kelihatannya dia bahagia. Dan aku hanyalah ganjalan dalam hidupnya.

Tak tahu harus mengadu kemana. Kakek nenekku telah tiada. Aku tak punya tempat berlabuh. Aku sangat lemah. Dan semakin rapuh ketika kau tak kunjung memberikan sinyal perhatian berupa kabar padaku. Inginnya kubertanya pada keluargamu. Tapi mereka tampak tak suka padaku.

Hatiku kian sakit. Senyeri luka menganga yang dibubuhi cuka.

***
Akhirnya, hari yang senantiasa kunanti tiba. Setelah tujuh tahun merantau ke pulau seberang, kau kembali ke kampung kita tercinta. Bisa dibayangkan betapa dadaku membuncah bahagia. Hari ini, hatiku yang bengkak merindu, pecah memburaikan sejuta bunga.

Kau tersenyum di depan jendela mobil metalic yang mengantarmu sampai ke gerbang mewah keluargamu.

Seluruh warga keluar dari rumahnya. Berebut menyambut dan mengelu-elukan kedatanganmu. Segunung harapan ditumpukan padamu. Dokter cintaku, kebanggaan desaku.

Aku ikut berjejalan di antara warga yang berdesakan di rumahmu karena begitu ingin mendengar pengalamanmu di kota besar. Ah, kau memang tak pernah pulang. Wajar jika kami merindu dan sangat ingin tahu kisahmu. Kulihat parasmu makin bercahaya. Kau semakin menawan di mataku.

Sekuat tenaga, kusibak kerumunan orang-orang itu. Ingin kudekati dan kupeluk erat dirimu untuk menumpahkan kerinduanku. Jantungku berdebar-debar kuat. Apakah kau masih ingat padaku?

Ingatkah saat kita bermain di sungai? Waktu itu aku hampir tenggelam karena tak bisa berenang. Lalu kau menyelamatkanku. Kau pahlawanku. Dan kini, kedatanganmu, seolah menyelamatkan kembali kehidupan jiwaku yang sesak dan hampir mati dihimpit tekanan dunia yang tak punya belas kasihan buat orang-orang sepertiku.

Tiba-tiba aku merasa kecil dan pilu tatkala melihat seorang gadis jelita berkerudung dan gamis coklat, duduk di sampingmu. Di jari manis kanannya, melingkar indah sebuah cincin perak berkilau memukau. Sama persis dengan yang kau kenakan.

Lalu kulihat senyum manismu padanya. Serasa ada belati yang menghunjam jantungku.
Kuberpaling, tak kuasa membendung airmata. Tubuhku surut ke belakang. Secepatnya menjauh untuk menyembunyikan goresan luka yang memerihkan hati.

"Din!"

Sebuah suara yang amat kukenal dan sangat kurindu, menghentikan langkahku tepat pada saat menginjak halaman berumput di depan rumahmu. Aku terkejut, serasa tak percaya. Apakah aku bermimpi? Apakah itu benar suaramu yang memanggil namaku?

Tubuhku gemetar hebat. Sepasang kakiku menggigil tatkala sekonyong-konyong bayangan tubuh kokohmu telah berada di hadapanku.

"Din, lama tak bertemu! Bagaimana kabarmu sekarang? Aku selalu ingin menghubungimu, tapi tak bisa karena kabarnya kau tak punya hape!" ucapmu dengan tatapan yang sukar diartikan.

Aku balas menatapnya dengan pandangan dikaburkan airmata. Kepercayaan diriku bangkit kembali. Ternyata kau masih ingat padaku. Apakah kau juga merinduku sebagaimana aku merindukanmu?
"Aku sibuk bantu-bantu Tuan Guru di Pesantren. Gajiku tak cukup untuk membeli hape," jelasku malu-malu.

"Alhamdulillaah, Din. Hidupmu selamat dalam lingkungan Islami! Din, aku kangen kamu. Ayo, kita ngobrol-ngobrol seperti dulu. Oiya, aku sekarang sudah menikah! Bagaimana dengan dirimu?" tanyamu antusias dengan wajah berseri dan mata berbinar.

Seketika itu juga aku berdo'a, semoga ada petir yang menyambarku hingga hancur lebur jadi abu, atau minimal terbelah jadi tujuh kepingan.

Tujuh tahun penantian ini, ternyata sia-sia. Kau menikah dengan seorang gadis. Kau pengkhianat. Kau sama saja dengan orang-orang yang merasa dirinya normal tapi tak pernah mau meluruskan perasaanku. Mengapa kau tak memahami diriku? Apa artinya hubungan kita sejak TK sampai SMA? Apa arti diriku bagimu, Faisal?

"Din, kamu sakit?" tanyamu cemas saat melihat parasku memucat. Kau genggam tanganku, tapi kutepis tangan itu.

Lalu aku berlari. Berlari sambil meratapi diri. Aku tahu, bukan salahku jika jatuh cinta padamu. Tapi adalah salahku jika terlalu yakin bahwa kau adalah jodohku. Salahku karena kurang berjuang menata perasaanku, padahal aku tahu itu tak layak dan dimurka Rabb-ku.  Seharusnya kulawan, lalu menyalurkannya dengan cara yang disukai Allah.

Akan tetapi, andai mampu, akan kutuntut mereka yang tak mengulurkan tangan membantuku. Malah membiarkanku terjerembab dalam kesalahan ini. Mereka yang justru menjadikanku bahan olokan dan hiburan. Bahkan parahnya, karena elok parasku, mereka mendorongku ikut kontes ratu waria. Tuhan, separah itukah diriku?

***

Eva Liana, Kandangan, HSS, Kalsel.
Biodata narasi:
Nama pena saya Eva Liana, lahir di kota Banjarmasin, Kalsel. Sekarang berdomisili di Jalan Nostalgia, Desa Gambah Luar Muka, Kandangan 71216, Kalsel. Suka menulis sejak SMP. Ada, sih, beberapa karyaku yang pernah dibukukan berupa novel, kumpulan cerpen dan kumpulan puisi. Kalau tertarik ngobrol, bisa kunjungi saya di akun FB: Eva Liana I, HP/WA 083125456101, akun Ketix EvaLiana63, dan blog kaorimeishi.wordpress.com.

Labels: Cerpen

Thanks for reading BUKAN SALAHKU. Please share...!

0 Komentar untuk "BUKAN SALAHKU"

Back To Top